RI- Meski umumnya anak bayi bila mengalami demam tinggi akan disertai kejang, namun jangan pernah hal itu dianggap enteng atau biasa saja.
"Karena untuk anak yang demam sering disertai kejang, dia memiliki resiko epilepsinya lebih besar dari yang tidak (disertai kejang)", kata dr. Irawati Hawari, Sps dalam mediagathering "Kejang....Apakah Selalu Epilepsi ?" di RSU Bunda Jakarta, Jumat (26/06).
Dr. Irawati menjelaskan, epilepsi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh terjadinya lonjakan listrik abnormal di otak, dengan manifestasi berupa serangan kejang-kejang, ataupun bentuk lain seperti perubahan tingkah laku ataupun perubahan kesadaran.
"Penyebabnya bisa karena kerusakan jaringan misalnya tumor, akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi, cedera kepala, gangguan pembuluh darah otak, cacat lahir dsb, dapat juga penyebabnya tidak diketahui atau faktor genetik. 1 hingga 8 juta penduduk Indonesia bisa saja terpapar epilepsi. Karena epilepsi tanpa batasan usia, bahkan bisa sejak dari dalam kandungan. Bisa karena kecelakaan atau juga pemakaian obat-obatan terlarang. Jadi ini bukan penyakit menular, apalagi gangguan makhluk halus", papar Irawati.
Karena itu, lanjut irawati, sesungguhnya epilepsi bisa dikendalikan dengan memberi obat anti epilepsi, melakukan operasi untuk epilepsi refrakter, atau bahkan bila gejalanya masih lemah, penderita bisa sembuh sendiri.
"Namun untuk mengetahui epilepsi pada anak memang lebih sulit dibanding pada orang dewasa. Harus diagnosis Lab, dan EEG. Kami di RS Bunda sudah dilengkapi dengan peralatan medis terbaik untuk melakukan layanan epilepsi terpadu", jelasnya.
Irawati memaparkan, EEG diperlukan untuk melihat aktifitas listrik di otak. Melalui EEG akan dilakukan test provokasi untuk memancing epilepsinya agar diketahui letak dan sumbernya. Dengan begitu juga dapat dipastikan bahwa pasien memang menderita epilepsi.
"Umumnya 70 persen bangkitan epilepsi dapat diatasi dengan 1 jenis obat anti epilepsi. Sedangkan 30 persen lainnya (epilepsi refrakter) sulit dikendalikan, dan harus dilakukan dengan bedah epilepsi", ungkapnya.
Dr. Wawan Mulyawan, SpBS, konsultan bedah syaraf RSU Bunda menambahkan, pada dasarnya, tujuan obat epilepsi adalah untuk mengontrol, bukan menyembuhkan. Dimana ada satu periode tertentu pasien bisa lepas dari obat. Namun banyak pasien harus bergantung seumur hidup pada obat epilepsi.
"Untuk pasien yang epilepsinya tidak bisa dikontrol, menjadi bisa dikontrol melalui bedah syaraf otak. Jadi bila kejang sudah tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan, baru dilakukan bedah", jelasnya.
Menurut Wawan, bedah syaraf otak perlu dilakukan untuk membypass sumber lonjakan listrik. "Pembangkit listriknya harus dicari. Hanya bila sudah diketahui pasti, baru bisa dipastikan lokasinya untuk dioperasi. Setelah bedah pasien tetap harus makan obat anti epilepsi. Namun sekarang epilepsinya menjadi bisa dikontrol", ujarnya.
Dr. Wawan menegaskan, bedah syaraf otak ini tidak perlu ditakutkan, karena di RSU Bunda sudah dilengkapi peralatan diagnostik canggih yang akan membantu dari proses diagnosis, monitoring gangguan neurologis, dan mengatasi gangguan pada syaraf, otak dan tulang belakang, seperti MRI dan MRA, CT-scan, Transcranial Doppler (TCD), EEG, Carotic Ultrasound, dan Brain Angiography.
"Sudah ada Epilepsi terpadu di Bunda. Peralatan terbaik dan komplit memungkinkan operasi dapat berjalan lancar dan sukses", pungkas Wawan. (BUD/PUR)