RI- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat hingga saat ini sudah lebih dari 5 ribu pekerja Indonesia positif terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara sebanyak lebih dari 5 ribu lagi masih proses.
"Gelombang PHK massal mengancam pekerja Indonesia, namun pemerintah tidak bertindak apapun. Fakta dan data tentang jumlah PHK sampai saat ini yang masuk Posko PHK dan Upah KSPI sekitar 10 ribuan buruh", kata Presiden KSPI Said Iqbal kepada wartawan di Mega Proklamasi hotel, Jakarta, Senin (15/2).
PHK massal tersebut, lanjut Iqbal, berasal dari banyak perusahaan lokal maupun investasi asing.
Kategori I, yakni Toshiba 865 orang karena pabrik tutup, Panasonic Cikarang 480 karena pabrik tutup, Samoin 1166 karena pabrik tutup, Starling 452 pabrik tutup, Harleyburton, tidak tutup, rasionalisasi akibat harga minyak tutup. Sandos 200, rasionalisasi akibat kapaistas produksi diturunkan, Novartis, 100 rasionalisasi, Sanopi Acentis, 5, Mitsubishi KRM, rasionalisasi tawarkan pensiun dini, 200 orang.
"Kurun waktu Januari-Februari, 3668. Data Depnaker hanya 1337, Itu saja sudah bohong", imbuhnya.
Iqbal melanjutkan, untuk kategori II, yakni PHK tahun lalu yang tidak diumumkan pemerintah, PHK terjadi di PT Philips Sidoarjo 800 orang, Panasonic Pasuruan karena pabrik tutup sebanyak 800 orang, PT Jabar Garnindo, 4700 orang. Dan Ford indonesia dalam proses 2000 orang.
"Beranti jumlah kategori II ini total 8300 orang. Jadi kami tidak omong kosong kalau bilang lebih dari 10 ribu", ungkap Iqbal.
Untuk Kategori III atau Perusahaan PHK sepihak, tambah Iqbal, terdiri dari PT Sun Star 271 orang, DMCTI 255 orang, Ohsung 186, dengan total PHK Sepihak sebanyak 712 pekerja.
Sementara untuk Kategori IV atau karyawan kontrak habis tapi tdk diperpanjang, sekitar 5 ribuan orang.
Anggota Serikat Pekerja Otomotif Heri menambahkan, untuk bidang otomotif, PHK terjadi karena penurunan kapasitas produksi yang imbasnya pada penurunan penggunaan manpower.
"Tenaga kontrak tidak diperpanjang. Bukan saja R2 tapi R4 juga. Hampir di semua lini otomotif. Padahal rasio penggunaan tenaga kontrak sekitar 30-40 persen. Penurunan produksi terjadi karena penurunan daya beli konsumen. Maka salah bila pemerintah lantas tetapkan kebijakan pembatasan kenaikan upah pekerja (PP 78 Th 2015). Karena otomotif masih andakan pasar domestik. Karena itu bila daya beli tidak dijaga, akan terjadi penurunan pembelian", papar Heri.
Untuk itu, menurut Heri, pemerintah harus bertindak cepat, mengkaji ulang kebijakan ekonomi, dan bila perlu mencabut PP 78 Tahun 2015.
"Kalau pemerintah tdk konsern, angka pengangguran akan bertambah. Anggota kita saja turun dari 100 ribu jadi 90 ribu", tandasnya.
Said Iqbal melanjutkan, untuk kategori V di bidang perminyakan, PHK terjadi di Harley Burton, Cevron, Vico dengan jumlah karyawan terancam pemutusan sebanyak 5 ribuan.
"Dari 5 kategori ini total, 10 ribu lebih. 10 kali lipat dari angka pemerintah. Pemerintah sejauh ini seolah masih menutup nutupi bahkan cenderung menyangkal adanya PHK massal ini. Saya himbau pemerintah jangan gunakan kata-kata indah bersyair untuk tutupi ini. Jangan berbelit definisikan PHK. Intinya angka pengangguran bertambah". papar Iqbal.
Menurut Iqbal, penutupan serta hengkangnya beberapa perusahaan itu bukti bahwa Paket Kebijakan Ekonomi jilid I-IX yang digulirkan pemerintah hanya kuat dikonsep dan retorika belaka, namun lemah diimplementasinya.
"Kami tegaskan paket kebijakan itu gagal. Pemerintah harus terbuka dengan data ini, bukan menutupi. Pemerintah harus lebih keras lagi dalam implementasi dan pengawasan", pungkas Iqbal. (Bud/Pur)