BANDARLAMPUNG, 6 Juni 2022, radarindonesia.com
Sidang Kasus Pembunuhan terhadap Dede Saputra pemilik counter Dede Cell yang terjadi pada pertengahan tahun 2021 yang lalu, telah beberapa kali dilakukan, hingga sampai pada tuntutan dari JPU yang digelar pada hari Senin (6/6/2022) yang lalu.
Dari perjalanan panjang sidang tersebut terdapat banyak sekali fakta persidangan yang terungkap, namun menurut keluarga dan Penasehat Hukum terdakwa Syahrial Aswad tuntutan JPU sangat mengada-ada dan sangat dipaksakan dengan tidak mengindahkan dan melihat fakta persidangan yang telah dilalui.
Menurut Penasehat Hukum terdakwa Syahrial Aswad Endy Mardeny, SH. MH, dari proses penangkapan, penyelidikan dan penyidikan terhadap Kliennya tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepolisian sesuai dengan PERKAP Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaran tugas kepolisian dikarenakan menyimpang dari etika dan kepatutan serta berpotensi melanggar HAM, dan tidak sesuai juga dengan PERKAP Nomor 6 Tahun 2019 Pasal 14 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Seperti yang disampaikan oleh Nina dan Penasehat Hukum Syahrial Aswad Endy Mardeny S.H., M.H., kepada awak media Minggu, (12/6/2022).
"Syahrial Aswad ditangkap pada hari Selasa tanggal 13 Juli 2021, di Desa Nabang Sari, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, sekitar pukul 21.55 WIB, dan langsung dimasukkan ke dalam mobil dan HP-nya di sita. Didalam mobil Syahrial dipaksa untuk menandatangani surat perintah penangkapan, namun karena Syahrial Aswad tidak merasa melakukan pembunuhan seperti yang dituduhkan, maka Syahrial tidak mau menandatangani surat perintah penangkapan itu," ujar Endy.
Selanjutnya menurut Endy, "Penangkapan terhadap Syahrial Aswad kurang alat bukti, dan polisi juga terlalu terburu-buru untuk menetapkan Syahrial sebagai pelaku karena minimnya alat bukti, dimana hanya berdasarkan CCTV dan keterangan saksi," kata Endy.
Masih menurut Endy "Dan Syahrial Aswad dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan pembunuhan berencana bersama seseorang yang bernama Bakas Maulana, di dalam dakwaan JPU dikatakan bahwa pada hari Sabtu tanggal 10 Juli sekira pukul 16.00 WIB Bakas Maulana menghubungi Syahrial Aswad melalui telpon mengajak Syahrial Aswad untuk melakukan perencanaan pembunuhan terhadap Korban Dede Saputra, tetapi didalam fakta persidangan terbukti bahwa Syahrial Aswad dan Bakas Maulana tidak saling mengenal dan terkait dakwaan JPU tidak dapat membuktikan terkait perencanaan pembunuhan tersebut yang dilalukan melalui komunikasi telpon dikarenakan handphone milik Syahrial Aswad tidak dijadikan sebagai alat bukti dan Bakas Maulana sendiri tidak memiliki handphone atau alat komunikasi. Jadi Jelas disini Perencanaan Pembunuhan yang dituduhkan oleh JPU didalam persidangan Tidak Dapat Dibuktikan dan mengada-ada," ungkapnya.
Selain itu menurut Endy, " Dalam proses penangkapan terhadap Syahrial tidak sesuai dengan SOP dan diluar Etika, karena dalam penangkapan tersebut Syahrial Aswad dipaksa untuk mengenal seseorang yang bernama Bakas Maulana, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa Bakas Maulana tersebut, saat diinterogasi malam itu oleh pihak kepolisian sampai dilakukan pemukulan dikepala Syahrial yang berakibat kepalanya bocor," ungkap Endy.
Tidak hanya itu saja, "Dia sempat dibawa ke kontrakannya di Bandarlampung dan dibawa juga ke Tanggamus, dan disana dia mendapatkan perlakuan yaitu penganiayaan dan penyiksaan karena selalu dipaksa untuk mengenal seseorang yang bernama Bakas Maulana, sampai akhirnya dilakukan juga penembakan dikaki Syahrial sebanyak tiga kali," imbuh Endy.
Endy menambahkan, Syahrial Aswad pernah dilakukan penangguhan penahanan oleh pihak kepolisian yang mana penangguhan tersebut bukan yang diharapkan oleh pihak keluarga.
"Penangguhan itu sebenarnya bukan yang diharapkan pihak keluarga, karena dengan bukti yang sangat minim dan tidak bisa dibuktikan oleh penyidik kepolisian, keluarga Syahrial meminta pada waktu itu pihak kepolisian mengeluarkan SP3, dan keluarga Syarial Aswad menghadap Kasatreskrim Polres Tanggamus pada saat itu, dan disarankan oleh Kasatreskrim waktu itu untuk ditangguhkan dulu penahanannya baru bisa dikeluarkan SP3," tambah Endy.
Masih menurut Endy, "Karena Syahrial Aswad ini minim sekali pembuktiannya maka saya selaku penasehat hukum meminta untuk dikeluarkan SP3-nya, dan keluarga juga pernah menghadap Kasatreskrim dan dijanjikan akan dikeluarkan SP3-nya. Dan untuk kepastian Hukumnya, berkas Syahrial Aswad ini sudah berkali-kali ditolak dan dikembalikan oleh kejaksaan, sampai pada tanggal 3 Februari 2022 pihak kepolisian mengirimkan surat panggilan kepada Syahrial Aswad untuk dilakukan pelimpahan ke Kejaksaan Negeri Kota Agung. Jadi tanggal 15 November 2021 Syahrial Aswad ditangguhkan penahanannya dan pada tanggal 3 Februari 2022 Syahrial dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Agung," kata Endy.
Dan menurut Endy, terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian, Syahrial Aswad melaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri.
"Terkait etik yang dilanggar oleh pihak kepolisian Polres Tanggamus, pada saat Syahrial masih dalam masa penangguhan penahanannya, Syahrial Aswad langsung membuat laporan ke Divpropam Mabes Polri," ucap Endy.
Setelah itu kata Endy, "Tidak lama setelah laporan Syahrial Aswad ke Mabes Polri, Divpropam Mabes Polri turun ke Lampung dan bertemu dengan keluarga Syahrial Aswad di Bukit Randu, dan sempat juga anggota Divpropam Mabes Polri itu ke Polres Tanggamus dan pihak Keluarga Syahrial juga dipanggil," katanya.
Selanjutnya menurut Endy, "Pada saat penangkapan Syahrial Aswad pihak kepolisian pada waktu itu juga menyita barang milik Syahrial Aswad yang ada dirumah Nabang Sari, Kecamatan Kedondong Kab. Pesawaran dan di kontrakan Syahrial Aswad di Palapa, Durian Payung, Bandar Lampung tanpa ada Surat Penyitaan dan salah satu barang yang disita adalah sebuah pisau yang di ambil pihak kepolisian dari rumah Syahrial Aswad di Nabang Sari yang ternyata pisau tersebut merupakan milik dari kakak Syahrial Aswad. Tetapi pada tanggal 18 Agustus 2021 Pihak kepolisian melalui Bripka Septa Aulia Shandi menyerahkan barang bukti yang pernah disita tersebut kepada kakak Syahrial Aswad, Nina Triana, akan tetapi barang berupa pisau tersebut tidak pernah dikembalikan kepada pihak keluarga sampai dengan saat ini." Tandasnya.
Ditempat yang sama, Nina kakak kandung Terdakwa Syahrial Aswad menjelaskan bahwa ada hal-hal yang menyimpang dari Etika seorang penyidik yang menurut keluarga maupun Penasehat Hukum itu melanggar etika dan tidak wajar.
"Pada masa penahanan ke seratus enam belas hari, Syahrial ditangguhkan penahanannya dan dikeluarkan pada tanggal 15 November 2021, dan pada tanggal 16 Desember 2021 Kasatreskrim Polres Tanggamus berulang kali meminta untuk menemui Syahrial, tapi kami dari pihak keluarga belum mau bertemu, dan pada tanggal 16 Desember 2021 tersebut kami bertemu dengan Kasatreskrim Polres Tanggamus pada pukul 21.00. WIB di cafe Lamban Gunung," jelas Nina.
Masih menurut Nina, "Disana Kasatreskrim Polres Tanggamus meminta kami untuk tidak menceritakan masalah penangguhan Syahrial kepada siapapun, apalagi kepada media. Dan Kasatreskrim juga meminta agar Penasehat Hukum Syahrial Aswad untuk di nonaktifkan. Dan pada saat itu Syahrial meminta kepada Kasatreskrim, jika saya tidak bersalah bebaskan saya, keluarkan SP3 saya, dan Kasatreskrim menjawab _'Kami tidak bisa mengeluarkan SP3 tersebut karena kami takut di Prapid'_." Ungkap Nina.
Harapan Nina dan keluarga besar kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas II Kota Agung, "Karena Syahrial Aswad tidak bersalah dan fakta persidangan menunjukkan Syahrial Aswad bukan pembunuh, maka kami mohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan Syahrial Aswad." Pinta Nina. | (**)
0 komentar:
Posting Komentar