Jakarta, 18 November 2023, radarindonesia.com
Polusi udara menjadi masalah yang sering dibahas belakangan ini, tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga global. Terutama di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Berdasarkan data situs pemantauan kualitas udara IQAir pada Senin (9/10/2023), tingkat polusi DKI Jakarta menempati peringkat ketiga kota paling berpolusi di dunia dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) berada di angka 165 atau masuk dalam kategori tidak sehat. Sehingga dapat dikatakan kualitas udara DKI Jakarta tidak sehat bagi kelompok sensitif dan dapat menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
Polusi udara memiliki banyak dampak negatif terutama bagi kesehatan. Dimulai dari polutan mikroskopis di udara yang dapat melewati pertahanan tubuh, menembus masuk ke dalam sistem pernapasan, bahkan sampai ke peredaran darah. Akibatnya, polutan ini dapat merusak paru-paru, jantung, dan otak. Sehingga dapat memicu penyakit seperti kardiovaskular, kanker, alzheimer, parkinson, asma, bronkitis, dan lain sebagainya.
Polusi udara tidak hanya berdampak terhadap kesehatan fisik, tetapi juga berdampak terhadap kesehatan mental. Ahli penyakit dalam, dr. Alvin Nursalim, Sp.PD mengatakan, gangguan yang bisa dialami seperti stres, kecemasan, perubahan suasana hati, perubahan perilaku, penurunan fungsi kognitif, dan depresi. Gangguan ini sering kali berasal dari kombinasi efek langsung dari zat-zat beracun dalam polusi serta beban psikologis yang muncul akibat lingkungan yang tercemar. Adanya polusi menyebabkan seseorang cemas akan bahaya yang ditimbulkan bagi kesehatan tubuh sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malas dalam beraktivitas, terutama aktivitas di luar ruangan. Kurangnya aktivitas di luar ruangan atau menjalani gaya hidup kurang aktif dapat memicu perubahan perilaku seseorang.
American Psychological Association menyatakan bahwa ozon dan komponen polusi udara lainnya dapat menyebabkan tingginya tingkat peradangan dalam tubuh, yang dikaitkan dengan timbul dan berkembangnya depresi. Sejatinya belum ditemukan korelasi yang signifikan antara masalah gangguan kesehatan mental dan polusi, hanya saja keduanya dapat berkaitan. Contohnya, seorang ibu yang khawatir terhadap anaknya yang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi udara, jika polusi udara belum selesai maka penyakit ISPA anak tersebut akan sering kambuh, mengharuskan terus berobat, dan kebutuhan sehari-hari meningkat. Sehingga mengakibatkan ibunya stres ditambah lagi dengan pelabelan orang sekitar sebagai ibu yang tidak bisa mengurus anak karena anaknya sakit-sakitan sehingga mengakibatkan kesehatan mentalnya terganggu, Hal ini bisa saja mengakibatkan munculnya tindakan bunuh diri.
Biro Riset Ekonomi Nasional di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, menemukan bahwa setiap peningkatan partikel polusi per mikrogram/m3 di kota-kota AS, kejadian bunuh diri naik hingga 0,5%. Secara biologis, polusi dapat menyebabkan peradangan di otak, defisit serotonin, dan menganggu jalur respons stres. Kondisi ini membuat perilaku depresi dan impulsif lebih mungkin terjadi. Terdapat pula kemungkinan bahwa udara yang buruk menimbulkan kabut otak. Otak yang berkabut memengaruhi cara berpikir seseorang sehingga ide untuk bunuh diri dapat lebih mudah dilakukan.
Untuk mengatasi masalah ini, dapat dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari menjaga diri dengan berolahraga, menjaga pola makan, mengonsumsi suplemen, dan memperbanyak minum air putih merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh dan membantu mengatasi masalah kesehatan mental serta dengan menjalankan aturan yang telah dibuat pemerintah, membuat penyaring udara di dalam ruangan agar udara yang masuk sudah bersih, dan memperhatikan waktu tingginya polusi yaitu saat jalan raya padat kendaraan.
Pemerintah sudah semestinya membuat regulasi terkait emisi dengan standar yang ketat dan menjalankan aturan dengan tegas. Tanpa regulasi yang ketat, kondisi akan semakin memburuk. Belum lagi jika pemerintah hanya membuat kebijakan tanpa berlandaskan data yang akurat.
Polusi udara tidak hanya menyerang secara fisik, tetapi juga secara mental. Tidak cukup dengan pemerintah saja yang memberikan respon, tetapi masyarakat juga sepatutnya ikut andil menyelesaikan masalah polusi yang sudah berdampak terhadap kesehatan mental.
(Faridah Putri/ Ananda Sabila, Pemerhati lingkungan/ Mahasiswa Univ. Ahmad Dahlan)